Berhentilah Menjadi Gelas
>> Wednesday, June 30, 2010
Aku seringkali membaca petikan-petikan mahupun blog-blog yang kutemui ketika melayari internet di pejabat. Selalunya bila boss tiada. He he...Kebiasaannya, artikel-artikel menarik yang kutemui akan kusimpan untuk rujukanku. Dan hari ini, kutemui satu kisah yang amat menarik untuk dihayati. Kesemuanya berkisar tentang kehidupan yang seringkali kita lalui. Moga ia mampu menjadi panduan untuk diriku dan sesiapa jua yang singgah di blog ini. Terimalah.....
Seorang guru mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya kebelakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.
“Guru, kebelakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang murid muda.
Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”Si murid pun beranjak perlahan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
“Cuba ambil segenggam garam, dan masukkan ke dalam satu gelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu cuba kau minum airnya sedikit.”Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis kerana meminum airasin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.
“Masin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis kemasinan.
“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di berhampiran tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa masin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa masin dari mulutnya, tapi tidak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawa ke mulutnya lalu meneguk. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibir dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”
“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, begitu-begitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”
Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa `masin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ‘qalbu’(hati) yang menampungnya. Jadi nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu sebesar danau.”
0 comments:
Post a Comment